GAWAT DARURAT
021 588 5100
OPERATOR
021 588 0911
021 5035 0911
APPOINTMENT CENTER
021 588 0911
REGISTRASI RAWAT INAP
https://bit.ly/PendaftaranRawatInap
Seluk Beluk Gangguan Spektrum Autisme
07 Oct 2014
Dalam beberapa tahun terakhir ini gangguan spektrum autisme (GSA) menjadi begitu populer sekaligus mengkawatirkan para orangtua yang memiliki anak usia batita maupun anak yang berusia lebih besar. Kondisi tersebut disebabkan oleh karena GSA berdampak terhadap perkembangan dan fungsi anak sehari-hari. Anak dengan GSA tampak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal sehingga berdampak terhadap kemampuan mereka untuk menjalin interaksi dua arah. Mereka cenderung hidup dalam dunia mereka sendiri, sehingga tampak asik bermain sendiri atau tampak aktif berlari atau menhindari kontak dengan lingkungan sekitarnya.
Angka kejadian GSA pada anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 an diperkirakan 1 dari 1000 anak mengalami kondisi GSA. Namun dalam tahun 2010, Center for Disease Control and Prevention (CDC’s) - Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network Surveillance di Amerika Serikat menyatakan bahwa angka kejadian GSA berkisar 21,9 per 1000 anak berusia 8 tahun. Di Indonesia, saat ini masih belum diketahui angka pastinya. Berdasarkan pengalaman praktik sehari-hari di Jakarta, saat ini orangtua sudah lebih waspada dan selalu mencari informasi yang tepat mengenai kondisi ini sehingga kasus lebih banyak ditemukan.dan kondisi mungkin dapat diasumsi bahwa memang kasus bertambah banyak atau kesadaran orangtua lebih tinggi sehingga deteksi kasus lebih banyak.
Dalam penelitian di atas juga dilaporkan bahwa anak laki-laki mempunyai risiko yang lebih tinggi uantuk mengalami GSA jika dibandingkan dengan anak perempuan (satu dari 48 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan mengalami GSA). Apa yang mendasari kondisi ini masih terus diteliti, dihaarapkan dalam waktu dekat kita bisa mendapatkan jawabanya sehingga proses prevensi dapat dilakukan. Selain itu, mereka juga melaporkan bahwa 31% anak dengan GSA mengalami disabilitas intelektual (IQ<70) dan 23% dengan borderline IQ, sisanya mempunyai rentang intelektual yang normal atau diatas normal.
GSA yang dikenal juga dengan Austism Spectrum Disorder (ASD) dalam Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders V (DSM V) dimasukan dalam kelompok neurodevelopmental disorder, dengan demikian sudah diduga adanya keterkaitan antara adanya gangguan sistem perkembangan dan proses maturasi otak,myang bermanifestas dalam berbagai bentuk gangguan perilaku dan emosi pada seorang anak. Dalam berbagai studi yang telah dilakukan memperlihatkan adanya ketidakseimbangan beberapa sistem neurokimiawi otak pada anak dengan GSA, diantaranya sistem dopaminergik, sistem serotonergik dan sistem adrenergik dan non-adrenergik. Ketidak seimbangan tersebut tampak sebagai gejala perilaku, emosi dan fungsi kognitif anak. Berdasarkan DSM V gejala GSA dapat dikelompokan dalam:
- Gangguan interaksi dan komunikasi sosial yang timbul dalam berbagai konteks seperti kesulitan untuk mengikuti alur komunikasi yang sedang berlangsung, kesulitan untuk berbagi baik dalam aspek minat maupun afeksi, kegagalan untuk memulai atau berespons terhadap interaksi sosial. Disamping itu, anak dengan GSA juga menunjukkan adanya defisit dalam komunikasi non-verbal yang digunakan dalam interaksi sosial timbal balik, misalnya tidak ada atau kontak mata yang terbatas jika dibandingkan dengan anak seusianya, tidak adanya ekspresi wajah yang sesuai dengan konteks pembicaraan atau konteks sosial yang sedang dihadapi oleh anak tersebut. Tidak ajarang anak dengan GSA menunjukkan kesulitan untuk mengerti bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh lawan bicaranya. Mereka pada umumnya juga sulit untk mempertahankan relasi dengan orang lain, kemampuan penyesuaian diri yang terbatas serta minat yang terbatas sehingga membuat anak dengan GSA tidak mampu menjalin relasi sosial yang adekuat
- Gangguan pola perilaku, minat atau aktivitas yang berulang dan terbatas, seperti perilaku mengulang-ulang kata-kata tertentu, ritual dalam menjalankan aktivitas tertentu, hanya tertarik pada benda-benda tertentu sehingga mengganggu fungsi anak secara keseluruhan. Anak dengan GSA juga seringkali menunjukkan adanya hipo-atau hipersensitivitas terhadap rangsang sensoris tertentu seperti suara, rasa sakit, temperatur, tekstur atau bau serta cahaya sehingga anak tersebut selalu berusaha menghindar atau justru berusaha untuk mencari sensasi tersebut sehingga mereka berperilaku atau menunjukkan rekasi emosi yang berlebihan dan membuat mereka menjadi hiperkatif dan cenderung iritabel.
Semua gejala diatas umumnya sudah seja awal perkembangan anak dan umumnya baru disadari orangtua ketika anak berbeda dari anak seusianya atau saat tuntutan lingkungan terhadap keterampilan yang harus dicapai anak belum terpenuhi. Disamping itu, adanya mitos yang beredar di dalam masyarakat seperti anak lalki-laki lebih lambat berbicara dibandingkan anak perempuan, juga seringkali membuat orangtua tidak waspada sehingga datang terlambat untuk mencari pertolongan. Orangtua baru menyadari bahwa anak mereka berbeda dengan anak lain seusianya ketika anak tidak juga terampil berkomunikasi dan menghindari kontak sosial. Selain itu, perilaku hiperaktif, agresif dan destruktif juga merupakan beberapa masalah yang membuat orangtua kawatir sehingga membawa anak mereka untuk berkonsultasi. Pada kasus yang ringan, orangtua baru menyadari kondisi ini saat anak tidak mampu mengikuti proses pembelajaran baik di taman kanak-kanak atau di sekolah dasar. Kasus tersebut tentunya berdampak terhadap perkembangan anak tersebut oleh karena deteksi dan intervensi dini tentunya lebih menguntungkan terhadap perkembangan anak itu sendiri.
Istilah ‘spektrum’ dalam GSA menunjukkan bahwa kondisi GSA mempunyai variasi yang sangat luas baik dalam aspek manifestasi baik gejala klinis, keterampilan dan hendaya atau disabilitas anak dengan GSA tersebut. Dengan demikian, intervensi yang diberikan juga sangat bervariasi tergantung kebutuhan anak masing-masing. Pada umumnya pendekatan intervensi dapat dilakukan dengan pendekatan psikofarmakologis yantiu dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk mengurangi gejala klinis yang mengganggu kemampuan anak untuk menerima proses pembelajaran seperti perilaku hiperaktif, impulsif, agresif dan juga suasana perasaan yang tidak stabil (iritabel). Pendekatan ke dua adalah intervensi psikososial, berupa stimulasi dengan terapi perilaku, psikoedukasi orangtua atau pendekatan lainnya yang bertujuan untuk menstimulasi anak agar dapat mengejar proses perkembangannya yang terlambat.
Semua Intervensi yang diberikan mempunyai tujuan agar anak dapat berfungsi seoptimal mungkin seperti anak seusianya, serta mengurangi berbagai masalah perilaku dan emosi lainnya sehingga anak dapat beradaptasi terhadap berbagai lingkungan dalam kehidupannya. Orangtua diharapkan mampu mengerti kondisi GSA yang dialami oleh anaknya sehingga mampu menerima anak mereka apa adanya dan selalu mendukung tumbuh kembangan anak ke arah yang positif. Dengan demikian tekanan terhadap anak berkurang sehingga anak dapat berkembang dan mencapai kualitas hidupnya yang lebih baik. Oleh karena itu, orangtua diharapkan berperan aktif dalam proses intervensi dan mau bekerjasama dengan dokter yang merawat anak, dengan demikian setiap kemajuan atau ketidakmajuan dalam proses tersebut dapat didiskusi bersama.
Dr. Tjin Wiguna, Sp.KJ (K)